Ketika kabar bahwa Gojek akan segera diakuisisi oleh Grab mencuat ke publik, respons utama yang muncul bukan amarah atau perlawanan. Yang terdengar justru bunyi kolektif pasrah: “Ya sudahlah.”
Padahal dulu, kita begitu bangga. Gojek bukan sekadar aplikasi, melainkan simbol bahwa Indonesia bisa menjadi pemain utama di industri digital. Sebuah karya anak bangsa yang berhasil menyatukan teknologi dan kearifan lokal, menjembatani tukang ojek dengan teknologi berbasis aplikasi, dan menyentuh hampir setiap lapisan masyarakat, dari Jakarta hingga pelosok. Lebih dari sekadar transportasi, Gojek merepresentasikan harapan akan kedaulatan ekonomi digital kita sendiri.

Namun hari ini, harapan itu terasa seperti ilusi. Dalam diam, Gojek akan segera kehilangan kendali kedaulatan. Dalam senyap, salah satu karya paling monumental dalam sejarah startup Indonesia justru akan menjadi milik asing sepenuhnya.
Yang ironis, negara ini sangat bangga dengan slogan “Bangga Buatan Indonesia”, bahkan menjadikannya kampanye nasional. Tapi pada saat bersamaan, tidak ada proteksi serius terhadap inovasi lokal. Tidak ada kebijakan jangka panjang yang menjaga agar karya-karya terbaik kita tetap tinggal dan berkembang di tanah sendiri.
Gojek bukan gagal. Yang gagal adalah sistem.
Sistem yang terlalu nyaman menjadi penonton dalam kompetisi ekonomi digital.
Sistem yang lebih fokus memberi insentif ke sektor lama, ketimbang memperkuat ekosistem teknologi yang sedang tumbuh.
Sistem yang terlalu lamban dalam memahami bahwa aset digital bukan sekadar aplikasi, tapi representasi dari kedaulatan ekonomi masa depan.
Hari ini kita harus bertanya:
Benarkah kita kekurangan inovator?
Atau sebenarnya kita hanya kekurangan kebijakan yang inovatif?
Faktanya, Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Setiap tahun ribuan anak muda Indonesia mencetak prestasi global di bidang teknologi, AI, blockchain, bahkan luar angkasa. Yang kita kekurangan adalah rumah yang melindungi, kebijakan yang memelihara, dan negara yang berpikir strategis.
Karena jika Gojek—perusahaan sekelas decacorn yang pernah jadi kebanggaan nasional—saja tidak mendapat perlindungan, maka apa kabar startup-startup kecil lainnya? Apakah satu-satunya jalan keluar bagi inovasi lokal adalah dijual ke luar?
India melindungi platform lokalnya. China membesarkan raksasa-raksasa digitalnya dengan regulasi strategis. Negara-negara di Eropa bahkan sedang merancang kerangka hukum untuk mencegah dominasi Big Tech yang mengancam kedaulatan digital mereka. Tapi kita? Kita justru memberi karpet merah untuk akuisisi, sambil membungkusnya dengan kata manis: sinergi regional.
Jika pemerintah ingin serius bicara soal “ekonomi digital masa depan”, maka inilah momen reflektifnya. Kita tidak sedang kekurangan anak muda berbakat—kita sedang kekurangan kebijakan cerdas yang mampu menjaga, mengembangkan, dan memproteksi aset strategis bangsa.
Karena di era baru ini, kedaulatan bukan hanya soal batas negara.
Tapi tentang siapa yang mengendalikan teknologi, data, dan platform yang mengatur hidup kita sehari-hari.
Dan bila kita masih memilih diam saat satu demi satu karya anak bangsa gugur di pasar global tanpa perlindungan, maka mungkin yang harus kita akui bersama adalah ini:
Kita belum benar-benar siap menjadi negara digital.
